Jokowi Dan Soeharto

Jokowi Dan Soeharto

TIGA pekan sebelum dilantik sebagai presiden, Prabowo Subianto menerima kunjungan dua putri bekas presiden Soeharto. Pada Ahad, 29 September 2024, putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, dan adiknya, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, menyambangi rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.Dalam pertemuan itu, keluarga Cendana--sebutan untuk keluarga Soeharto--memberi selamat kepada Prabowo yang telah terpilih menjadi presiden. “Benar ada ucapan selamat atas terpilihnya Pak Presiden,” kata Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad kepada Tempo, Jumat, 4 Oktober 2024.Prabowo didampingi adiknya yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, dan sahabatnya sekaligus bekas Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin. Putra Prabowo dan Titiek Soeharto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo, juga hadir di Kertanegara.Selain memberi selamat, keluarga Cendana bercerita sudah menerima surat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Isinya soal pengkajian ulang nama Soeharto dalam Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan keluarnya surat tersebut, MPR membersihkan nama Soeharto. “Soal ketetapan MPR, mereka menceritakan ke Pak Prabowo bahwa sudah ketemu dengan Bambang Soesatyo dan pimpinan MPR lain,” ujar Dasco. Bambang Soesatyo, politikus Partai Golkar, adalah Ketua MPR periode 2019-2024.VIDEOHubungan Cendana dengan Prabowo merenggang setelah Soeharto lengser pada Mei 1998. Keluarga Cendana menuding Prabowo, saat itu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR yang memicu mundurnya Soeharto, yang telah 32 tahun berkuasa. Hubungan Prabowo dengan Titiek juga terputus.Seorang narasumber di lingkaran Istana dan seorang petinggi partai di Koalisi Indonesia Maju menyebutkan bahwa Prabowo pernah menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo soal keluarga Cendana yang belum mengucapkan selamat. Padahal Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Menteri Pertahanan itu sebagai presiden terpilih pada 24 April 2024.Istana kemudian ditengarai berkomunikasi dengan Bambang Soesatyo dan mendorong agar nama Soeharto dicabut dari ketetapan MPR. Senyampang dengan munculnya dorongan tersebut, Fraksi Partai Golkar di MPR mengirimkan surat kepada pimpinan Majelis soal peninjauan ulang status Soeharto di tap MPR pada 18 September 2024.Dua petinggi MPR menyebutkan Bambang kemudian mengumpulkan anggota fraksi partai beringin di MPR dan membahas percepatan pencabutan nama Soeharto. Dalam pertemuan itu, peserta rapat mendapat penjelasan bahwa pembersihan nama Soeharto di ketetapan MPR telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo dan Prabowo. Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi tak menanggapi permintaan wawancara yang diajukan Tempo lewat sambungan telepon ataupun pesan teks hingga Sabtu dinihari, 4 Oktober 2024. Begitu pula Bambang Soesatyo tak merespons pesan dan panggilan telepon Tempo.Sehari sebelum pertemuan di Kertanegara, Bambang Soesatyo merekomendasikan Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional. “Memperhatikan besarnya jasa dan pengabdian selama tiga dekade, rasanya tidak berlebihan,” ucap Bambang dalam sambutannya pada pertemuan dengan keluarga Cendana di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu, 28 September 2024.Keputusan MPR membersihkan nama Soeharto menuai kritik deras dari berbagai lembaga pegiat antikorupsi dan hak asasi manusia. Salah satunya Indonesia Corruption Watch, yang menilai MPR berupaya mencuci dosa pemerintahan Orde Baru yang ditengarai terlibat dalam berbagai kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Sebelum mencuci nama Soeharto, MPR lebih dulu membersihkan nama Sukarno dengan menerbitkan surat soal Ketetapan MPR Sementara atau Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Tap MPRS itu menuding Sukarno terlibat dalam aktivitas Partai Komunis Indonesia. Pembersihan nama Sukarno merupakan permintaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai yang dipimpin putri Sukarno, Megawati Soekarnoputri, itu telah lama mengajukan permintaan tersebut. Namun, menurut sejumlah narasumber, Presiden Jokowi tak kunjung memberikan restu. Pada Senin, 9 September 2024, MPR menyerahkan surat pembersihan nama Sukarno kepada Megawati.

Seorang petinggi Gerindra menyebutkan Prabowo turut mendorong agar MPR menyetujui permintaan PDI Perjuangan. Prabowo meminta Sekretaris Jenderal Gerindra yang saat itu menjadi Wakil Ketua MPR, Ahmad Muzani, dan kader Gerindra, Supratman Andi Agtas, mempercepat pembahasan. Tujuannya, pertemuan dengan Megawati bisa segera berjalan.Merujuk pada Pasal 6 Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Tap MPRS dan MPR Tahun 1960-2002, status tap MPRS soal Sukarno sebenarnya masuk kategori tidak berlaku. Artinya, berbagai tuduhan terhadap Sukarno otomatis gugur. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sukarno pada 2012 juga menegaskan status tersebut.Namun Fraksi PDI Perjuangan menilai ada pelurusan sejarah yang belum diselesaikan oleh MPR. “MPR sebagai pembuat tap MPRS-nya belum melakukan apa pun untuk menindaklanjuti keputusan itu. Makanya kemudian dirasa perlu untuk buat surat ini,” kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah, saat ditemui Tempo, Jumat, 4 Oktober 2024.Menurut Basarah, usulan itu bermula dari surat yang diajukan oleh kader PDIP, Yasonna Laoly, pada 13 Agustus 2024. Dalam suratnya, Laoly yang saat itu masih menjabat Menteri Hukum dan HAM meminta MPR menindaklanjuti tidak berlakunya Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967. Surat ini menjadi pintu masuk MPR membuat pemaknaan ulang terhadap status Sukarno.Cara PDIP tersebut diikuti oleh Golkar untuk membersihkan nama Soeharto. Dalam surat pengantarnya, Golkar menyinggung pencabutan tap MPRS tentang Sukarno sebagai landasan awal permohonan pengkajian ulang atas ketetapan yang menyangkut nama Soeharto.Empat hari setelah Golkar mengajukan surat permohonan, atau pada 22 September 2024, Partai Kebangkitan Bangsa mengirimkan surat dengan format yang nyaris sama. Bedanya, partai itu meminta pernyataan sikap soal Tap MPR Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur salah satu pendiri PKB.

Ketua MPR Bambang Soesatyo (kedua kiri) menyerahkan berkas surat penegasan sikap MPR kepada istri mantan presiden Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 29 September 2024. Antara/Dhemas Reviyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tap MPR itu menyatakan Gus Dur telah melanggar haluan negara karena tak hadir dan menolak memberikan laporan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR. Seperti tap MPRS tentang Sukarno, ketetapan MPR soal Gus Dur sebenarnya sudah masuk kategori tak berlaku lagi.Perintah untuk membuat surat permohonan agar MPR menegaskan status Gus Dur datang langsung dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. “Ketua Umum minta untuk dikaji dan diperjuangkan agar status Gus Dur mendapat penegasan,” ujar Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid, Selasa, 1 Oktober 2024.Keluarga Gus Dur menilai keputusan MPR yang membersihkan nama cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu janggal. Mereka khawatir MPR memiliki motif politik tertentu. “Ini situasi politis dan sikap kami terhadap isu ini akan jadi keputusan politis juga. Jadi harus berhati-hati,” tutur salah satu putri Gus Dur, Alissa Qotrunnada atau Alissa Wahid, kepada Tempo, Jumat, 4 Oktober 2024.Gus Dur terpental dari PKB setelah kalah dalam perseteruan dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menjelang Pemilihan Umum 2009. Menurut Alissa, keluarganya sama sekali tak mengetahui proses pembahasan tap MPR tentang Gus Dur. Surat permohonan oleh PKB juga diajukan tanpa pemberitahuan kepada keluarga.Pada akhirnya keluarga Gus Dur memutuskan untuk mengapresiasi penegasan sikap MPR. Keluarga menilai surat tersebut menjadi momentum untuk meluruskan sejarah tentang Gus Dur. Tuduhan bahwa Gus Dur melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta melanggar konstitusi masih muncul di buku pelajaran.“Perlu ada momentum untuk menghapus tuduhan tak berdasar tersebut,” kata putri Gus Dur lain, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, Jumat, 4 Oktober 2024.Meski begitu, keluarga Gus Dur tetap memberi sejumlah catatan. Mereka menyoroti dugaan motif rekonsiliasi nasional di balik pembuatan surat tersebut. “Rekonsiliasi tetap harus berdasarkan prinsip keadilan agar bisa efektif diterapkan, bukan sekadar basa-basi politik,” ucap istri Gus Dur, Sinta Nuriyah, saat bertemu dengan pimpinan MPR, Ahad, 29 September 2024.

Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, Sjarifuddin Hasan, tak membantah motif rekonsiliasi nasional di balik mulusnya upaya pembersihan nama para mantan presiden. Politikus Partai Demokrat ini mengatakan pemaknaan ulang dari MPR membuat peluang Gus Dur ataupun Soeharto diajukan sebagai pahlawan nasional menjadi terbuka lebar. “Tokoh-tokoh ini kan ada persoalan yang belum jelas statusnya,” kata Sjarifuddin kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2024.Pembahasan tentang pembersihan nama bekas presiden ditengarai berjalan kilat. Anggota Badan Pengkajian MPR periode 2019-2024, Benny Kabur Harman, menyatakan pembahasan itu dilakukan di tingkat pimpinan MPR saja. “Kami tak pernah ikut membahas,” tuturnya pada Selasa, 1 Oktober 2024.Mantan Ketua Fraksi MPR Partai NasDem, Taufik Basari, juga sempat mengingatkan soal pembahasan yang berjalan cepat dalam rapat gabungan pada 23 September 2024. “NasDem minta agar persoalan ini dikaji dengan mendalam, kalau perlu di periode MPR berikutnya baru dibahas,” ujar Taufik.

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar membandingkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dengan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto. Cak Imin –panggilan Muhaimin Iskandar— membandingkan keduanya dalam konteks dinasti politik.

Ia menyebutkan, saat Soeharto berkuasa, pemerintah Orde Baru itu mengangkat anaknya, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana alias Tutut Soeharto, menjadi menteri sosial pada 1998. Tak lama setelah Tutut masuk kabinet, bergulir Reformasi yang menumbangkan pemerintahan Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu, di era pemerintahan Presiden Jokowi, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mendorong putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden dalam pemilihan presiden 2024 hingga terpilih menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, calon presiden.

"Dulu, kita tidak pernah membayangkan Pak Harto yang sekuat itu saja, baru ngangkat Bu Tutut jadi Mensos sudah jatuh," kata Cak Imin di acara Musyawarah Kerja Nasional PKB di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Selasa, 23 Juli 2024. "Hari ini, Pak Jokowi bisa menjadikan anaknya wakil presiden, aman-aman saja."

Dalam pemilihan presiden 2024, Muhaimin ikut berkontestasi melawan Prabowo-Gibran. Ia menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Anies Rasyid Baswedan. Pasangan calon Anies-Muhaimin serta Ganjar Pranowo-Mahfud Md kalah dalam pemilihan presiden tersebut. Keduanya dikalahkan oleh pasangan Prabowo-Gibran. Pasangan calon ini akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden 2024-2029 pada 20 Oktober mendatang.

Muhaimin bersyukur karena kondisi Indonesia masih dalam keadaan aman dan seluruh masyarakat tetap bersatu walaupun terjadi perubahan drastis selama pemilihan presiden 2024. "Kita tidak pernah juga membayangkan bagaiamana konstelasi politik nasional kita, fondasi-fondasi kekuatan tetap bisa kita jaga," kata dia.

Ia juga mengingatkan kader partainya agar mencegah konflik di masyarakat. "Potensi perpecahan harus diantisipasi, potensi kerawanan harus kita hadapi dan PKB harus jadi penguat ideologi kebangsaan yang kokoh," katanya.

You may copy under some circumstances, for example you may copy a portion for research or study. Order a copy through Copies Direct to the extent allowed under fair dealing. Contact us for further information about copying.

Copyright status was determined using the following information:

Copyright status may not be correct if data in the record is incomplete or inaccurate. Other access conditions may also apply. For more information please see: Copyright in library collections.

Request this item to view in the Library’s reading room.

Suara sanggahan muncul ketika foto Presiden Joko Widodo (Jokowi) disandingkan dengan Presiden ke-2 RI Soeharto dengan disertakan narasi kesamaan pemerintahan antara keduanya. Mereka yang menyanggah tidak setuju dengan hal itu. Siapa saja mereka?

Untuk diketahui, foto Jokowi dan Soeharto sejajar mengenakan jas dan peci warna hitam diunggah di akun Instagram YLBHI. YLBHI menyebut foto tersebut dibuat oleh koalisi masyarakat sipil.

"Itu buatan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia, ada banyak member-nya," kata Ketua YLBHI M Isnur kepada wartawan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akun Instagram Fraksi Rakyat Indonesia juga memposting foto Jokowi sejajar dengan Soeharto. Akun YLBHI dan Fraksi Rakyat Indonesia sama-sama memberikan keterangan pemerintahan Jokowi serupa dengan Orde Baru atau Orba.

Berikut 10 poin kesamaan pemerintahan Jokowi dan Orba versi Fraksi Rakyat Indonesia:

1. Mengutamakan pembangunan fisik dan serba "dari atas" ke "bawah" untuk kejar target politik minus demokrasi.2. Pembangunan bernuansa koruptif dan nepotis3. Tidak ada perencanaan resiko untuk masyarakat yang terdampak pembangunan sehingga menciptakan kemiskinan (pemiskinan) struktural4. Pembangunan tidak berizin atau dengan izin yang bermasalah5. Legal (UU dan Kebijakan) namun tanpa legitimasi suara rakyat.6. Melayani kehendak kekuasaan dan elite oligarki dengan cara perampasan & perusakan lingkungan.7. Menstigma rakyat yang melawan perampasan hak dengan melawan pembangunan, komunis, radikal, anarko8. Menangkap, mengkriminalisasi bahkan tak segan menembaki rakyat yang mempertahankan hak hingga terbunuh9. Pendamping & warga yang bersolidaritas dihalangi bahkan ditangkap10. Mengontrol narasi, informasi termasuk membelokkan fakta.

PDIP Sebut Ada Kesamaan dan Perbedaan

Senior PDIP Hendrawan Supratikno menyebut ada persamaan serta perbedaan pemerintahan Jokowi dan Soeharto. Persamaan terletak pada ekonomi, sementara perbedaan terletak pada politik.

"Meski ada kesamaannya, tetap lebih banyak perbedaannya. Di zaman Soeharto, pakem yang dijalankan, liberalisme ekonomi digenjot, liberalisme politik dikendalikan. Jadi muncul pemerintahan yang otoriter. Ada defisit demokrasi," sebut Hendrawan.

"Sekarang, liberalisme ekonomi dan politik berjalan bareng. Di tengah-tengah liberalisasi, disrupsi teknologi dan globalisasi, Jokowi berusaha mengorkestrasi peran negara untuk terus hadir sebagaimana ada dalam konsideran Nawacita," tegasnya.

Anggota Komisi XI DPR RI ini mengulas juga soal adanya penilaian era saat ini demokrasi Indonesia sudah bablas. Jokowi, kata Hendrawan, mengoreksi kondisi tersebut.

"Di era reformasi, ada yang bahkan berpandangan, demokrasi kita sudah kebablasan. Orang bebas berekspresi apa saja, termasuk yang mendasarkan gerakannya pada ideologi di luar Pancasila. Pemerintahan Jokowi berusaha melakukan koreksi, sebelum terlambat dan kita terancam disintegrasi," ucapnya.

Lihat juga video 'Jokowi Targetkan Konservasi Laut 32,5 Juta Hektare pada 2030':

[Gambas:Video 20detik]

Simak selengkapnya di halaman berikut

Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengatakan ada perubahan dramatis terjadi pada Pemilu 2024. Cak Imin membandingkan kondisi politik era Presiden ke-2 RI Soeharto dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal itu disampaikan Cak Imin saat sambutan dalam Mukernas PKB di JCC, Jakarta Pusat, Selasa (23/7/2024). Mulanya, Cak Imin berbicara terkait jatuhnya Soeharto saat mengangkat anaknya, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana atau Tutut, sebagai Menteri Sosial (Mensos).

"Di dalam negeri, kita mengalami satu perubahan yang dramatis. Dulu kita tidak pernah membayangkan, Pak Harto yang sekuat itu saja, baru ngangkat Bu Tutut jadi Mensos, sudah jatuh," kata Cak Imin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wakil Ketua DPR itu lantas membandingkan kejadian tersebut dengan dinamika politik saat ini. Cak Imin mengatakan peristiwa pada era Soeharto berbanding terbalik dengan era Jokowi.

"Hari ini Pak Jokowi bisa menjadikan anaknya presiden dan aman-aman saja," kata Cak Imin, yang langsung dikoreksi oleh peserta Mukernas yang hadir.

"Apa, jadi apa? Wakil Presiden, tadi aku ngomong apa? Wakil Presiden aman-aman saja," sambungnya.

Meski begitu, Cak Imin mengaku tetap bersyukur dengan situasi yang ada di Indonesia saat ini. Cak Imin mengatakan saat ini Indonesia masih tetap aman dan bersatu.

"Kita tidak pernah juga membayangkan bagaimana konstelasi politik nasional kita, fondasi-fondasi kekuatan tetap bisa kita jaga, ini karena kekuatan masyarakat, seluruh kekuatan politik bangsa ini terus bersatu, adil, komitmen kebangsaan yang kokoh dan kuat," ujarnya.

"Oleh karena itu, potensi perpecahan harus diantisipasi, potensi kerawanan harus kita hadapi, dan PKB harus jadi penguat ideologi kebangsaan yang kokoh," imbuh dia.

Saksikan Live DetikPagi:

Simak Video 'PKB soal Usung Kaesang di Jateng: Kalau Umurnya Oke, Bisa Ditimbang':

[Gambas:Video 20detik]

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam akun instagramnya @yayasanlbhindonesia menyandingkan foto setengah wajah Presiden Joko Widodo dan setengah wajah Presiden Soeharto. YLBHI menilai, pemerintahan Jokowi dalam hal pembangunan sama dengan rezim Orde Baru.

Ketua YLBHI Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin mengatakan kritik yang disampaikan oleh pihaknya bersama kelompok masyarakat sipil lain adalah berdasarkan kepada situasi, data, dan fakta yang terjadi di lapangan.

Ia mencontohkan peristiwa pada 12 Februari 2022 di mana terdapat korban meninggal dunia karena melakukan aksi penolakan terhadap tambang emas di Sulawesi Tengah, dan konflik yang masih terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, untuk pembangunan Bendungan Bener.

“Apakah kemudian aksi kekerasan ini terjadi begitu saja? Kami melihat tidak, karena kita bisa melihat dari beberapa pernyataan Presiden Jokowi memerintahkan kepada Kapolri untuk menjaga investasi. Kalau kita lihat hampir semuanya kekerasan demi kekerasan itu terjadi pada proyek strategis nasional maupun proyek yang berhubungan dengan investasi. Itu sebenarnya juga memperkuat bahwa kesamaan rezim hari ini mementingkan pembangunan daripada kesejahteraan masyarakat dan itu sama dengan situasi pada zaman orde baru,” ungkap Zainal kepada VOA.

Zainal pun menyangsikan pernyataan Istana Kepresidenan yang mengatakan bahwa Jokowi selalu terbuka akan kritik dan masukan dari masyarakat. Pasalnya, sejak periode pertama Jokowi memimpin, ujar Zainal, masyarakat selalu menyampaikan kritik dan masukan yang langsung disampaikan ke akun sosial media Jokowi dan bahkan turun ke jalan. Namun nyatanya, kritik dan masukan tersebut hampir tidak pernah didengar oleh pemerintah.

“Justru kemudian beberapa kebijakan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap sumber daya alam yang sedemikian masif, kerusakan lingkungan dan berpotensi menyingkirkan masyarakat adat, perampasan lahan, dan menimbulkan banyak pelanggaran HAM, itu justru dikebut sedemikan rupa. Sementara UU yang didorong oleh masyarakat sipil diajukan, itu puluhan tahun ngantre. Misalnya, UU PRT sudah 18 tahun. UU itu tidak kunjung disahkan,” jelasnya.

Zainal juga mencontohkan UU Ibu Kota Negara (IKN) baru yang begitu cepat disahkan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat yang cukup. Ia pun mempertanyakan bentuk masukan atau kritik apa yang diinginkan oleh pemerintah Jokowi? Karena hampir seluruh masukan dan kritik tersebut tidak pernah didengar.

“Akhirnya kesimpulan dalam kritik kami itu bahwa ada semacam corak yang sama, pola yang sama, pola perampasan lahan dengan mengerahkan aparat keamanan, aparat kepolisian yang menjaga proyek pembangunan yang menyingkirkan hak-hak masyarakat bahkan tanpa segan-segan melukai secara fisik dan psikis dan melukai hati masyarakat,” katanya.

Dalam unggahan di akun instagramnya, YLBHI mencantumkan 10 persamaan pemerintahan Jokowi dengan Soeharto.

Pertama, yakni mengutamakan pembangunan fisik dan serba 'dari atas' ke 'bawah' untuk kejar target politik, minus demokrasi. Kedua, pembangunan bernuansa koruptif dan nepotis. “Tidak ada perencanaan risiko untuk masyarakat yang terdampak pembangunan sehingga menciptakan kemiskinan (pemiskinan) struktural,” seperti dikutip pada poin ketiga.

Kemudian, keempat pembangunan tidak berizin atau dengan izin yang bermasalah. Kelima, legal (UU dan Kebijakan) namun tanpa legitimasi suara rakyat. Keenam, melayani kehendak kekuasaan dan elit oligarki dengan cara perampasan dan perusakan lingkungan. Ketujuh, menstigma rakyat yang melawan perampasan hak dengan melawan pembangunan, komunis, radikal, anarki.

Delapan, menangkap, mengkriminalisasi bahkan tak segan menembaki rakyat yang mempertahankan hak hingga terbunuh. Sembilan, pendamping dan warga yang bersolidaritas dihalangi bahkan ditangkap. Dan sepuluh, mengontrol narasi, informasi, termasuk membelokkan fakta.

Tanggapan Pihak Istana Kepresidenan

Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kepala Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin menegaskan, sejak periode pertama Jokowi selalu membuka diri untuk menerima saran, masukan bahkan kritik dari siapapun.

“Tetapi kritik itu harus fokus datanya apa, faktanya apa. Karena 10 catatan YLBHI itu semuanya sampah, data-data sampah yang tidak bisa didaur ulang,” ungkap Ngabalin kepada VOA.

Ia menilai, 10 catatan tersebut tidak menunjukkan data dan fakta yang jelas sehingga menjadikan hal tersebut sebagai fitnah yang disebarkan kepada masyarakat.

“Yang mana yang dia maksudkan dengan 10 catatan semua langkah Jokowi itu mirip dengan pemerintahan otoriter Soeharto? Sebab kalau dia tidak bisa menunjukkan fakta dan data, itu artinya dia memfitnah sementara di seluruh Indonesia itu orang sudah membaca,” jelasnya.

Terkait insiden di Wadas, Jawa Tengah, Kepala Staff Kepresidenan Moeldoko sudah menerjunkan dua tim untuk melakukan investigasi untuk mencari fakta di lapangan terkait apa yang terjadi di sana.

“Kepala KSP membentuk dua tim yang langsung ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang sesungguhnya agar presiden bisa mendapatkan laporan yang sesungguhnya terjadi. Please ya hei YLBHI, kalian siapa sih? buka hati dan pikiranmu jadilah warga negara yang bermanfaat bagi masyarakat,” pungkas Ngabalin. [gi/ka]

Indosat didirikan pada 10 November 1967. Penanda dari tumbangnya Orde Lama, dan berdirinya Orde Baru. Soeharto ingin membuat lompatan jauh ke depan, dengan alih teknologi mempunyai satelit sendiri.

Namun, gagasan itu tersandung anggaran. Tak hilang akal, Soeharto mengundang pemodal asing untuk menjadi operator. Perusahaan telekomunikasi asal Amerika Serikat, International Telephone & Telegraph Corporation (ITT), ditunjuk menjadi investor.

Melalui anak usaha American Cable & Radio Corporation (ACR), berdiri Indosat pada 1967. Perusahaan ini sekaligus menjadi pemodal asing pertama sejak ketok palu UU Penanaman Modal Asing di Tanah Air. Modal asing pertama yang masuk ke kantong Indosat senilai US$6 juta.

Namun, pada 1980 Soeharto kecewa dengan Indosat. Pasalnya, tidak mau membangun infrastruktur kabel telekomunikasi yang menghubungkan Penang-Medan. Proyek itu dinilai ACR tidak sesuai dengan belanja modal perusahaan

Akhirnya, pemerintah Indonesia mengambil alih Indosat dengan skema akuisisi. Pemerintah percaya diri karena cuan besar dari booming minyak mentah dunia. Dengan merogoh kocek US$43,6 juta kepemilikan Indosat pindah ke NKRI.

Bisnis Indosat terus melesat. Hingga mencatatkan sejarah sebagai perusahaan telekomunikasi pertama yang melantai di bursa pada 1994.

Saking besarnya, Indosat bersama dengan Telkom - yang merupakan pemimpin pasar saat itu - membentuk PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada 1995, setahun setelah perusahaan pelat merah itu melantai di Bursa Efek Indonesia dan New York Stock Exchange.

Ilustrasi foto Indosat Satelindo yang diluncurkan pada 2001./Bisnis

Selang 6 tahun setelah mendirikan Telkomsel, Indosat mengakuisisi Satelindo, dan membuat IM3, yang fokus pada layanan seluler, yang juga sebagai kompetitor Telkomsel di kemudian hari.

Nahas, yang terjadi 1 tahun setelah membuat IM3, atau tepatnya pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri justru melepas Indosat kepada asing.

Pada tahun tersebut, pemerintah melakukan divestasi saham Indosat sebanyak dua kali. Pertama, divestasi 8,1 persen saham Indosat pada Mei 2002 dengan dana yang diperoleh sebesar Rp1,1 triliun.

Kemudian pada Desember 2002 divestasi 41,9 persen saham dengan memperoleh dana Rp5,62 triliun. Singapore Technologies Telemedia (STT), anak usaha Temasek Group, menjadi pemenang divestasi tersebut. Total dana  yang dikeluarkan Rp6,72 triliun untuk 50,04 persen saham.

Setelah enam tahun, STT melepas kepemilikan kepada Qatar Telecom atau Ooredoo, investor asal Qatar. STT tersandung UU KPPU mengenai klausul antimonopoli. STT melalui Singtel memiliki saham di Telkomsel sekitar 35 persen.

Pada Juni 2008 STT melepas kepemilikan Indosat kepada Ooredoo. Pemodal asal Qatar itu merogoh kocek US$1,8 miliar untuk 40,8 persen saham Indosat yang digenggam STT. Dengan kurs Rp10.000 per dolar AS kala itu, nilai transaksi sekitar Rp18 triliun.

Kemudian Ooredoo terus menambah kepemilikan hingga mencapai 65 persen, sedangkan pemerintah menguasai 14,3 persen saham, dan publik 20,7 persen. Komposisi itu berubah setelah aksi korporasi jumbo diresmikan 16 September 2021.

Anda mungkin ingin melihat